
Rumah sudah sepi, ya. Hanya suara napas teratur dari kamar anak-anak dan dengung kulkas yang menemani malam. Tadi, saat melihat gambar si kecil yang penuh coretan acak—yang katanya adalah ‘dinosaurus terbang di atas pelangi’—saya jadi teringat sebuah artikel yang saya baca siang ini.
Artikel itu membahas bagaimana kecerdasan buatan (AI) sekarang bisa menulis puisi, melukis, bahkan menciptakan musik. Hebat, memang. Tapi melihat gambar anak kita tadi, saya sadar ada satu hal yang tidak akan pernah bisa mereka tiru.
Mereka bisa meniru kata, meniru nada, tapi mereka tidak akan pernah bisa meniru perasaan di balik sebuah karya. Mereka tidak punya pengalaman dikejar waktu di pagi hari, tidak pernah merasakan hangatnya pelukan setelah hari yang panjang, atau tawa geli saat mendengar lelucon yang sebenarnya tidak lucu. Kreativitas manusia, kreativitas keluarga kita, lahir dari semua momen itu. Tapi hati keluarga kita? Nah, itu beda cerita, mesin nggak bakal ngerti karena ia lahir dari kehidupan nyata yang kita jalani bersama.
Keindahan dalam Ketidaksempurnaan

Saya jadi teringat caranya mendongeng sebelum tidur. Ada satu momen saat dia lupa nama salah satu tokohnya, lalu dengan cepat mengarang nama baru yang lucu, dan seisi ruangan pun tertawa. Momen itu—momen kecil yang salah dan tidak sempurna itu—justru yang paling indah.
Sebuah mesin mungkin bisa membacakan dongeng dengan intonasi sempurna, tanpa salah satu kata pun. Tapi, apakah ia bisa mengubah kesalahan menjadi tawa bersama? Rasanya tidak.
Kreativitas manusia itu seperti kerajinan tangan. Ada sidik jari pembuatnya, ada sedikit bagian yang tidak simetris, ada bekas lelah yang justru membuatnya bernyawa. Kita, manusia, menciptakan makna dari kekacauan. Sama seperti caranya mengubah sisa bahan di kulkas menjadi makan malam yang hangat dan lezat, atau caranya menenangkan tangis anak kita dengan nyanyian sumbang yang hanya kita yang mengerti indahnya.
Momen Sehari-hari yang Menyentuh Jiwa

Di tengah dunia yang serba cepat dan digital ini, saya paling bersyukur untuk momen-momen kecil yang sering kali kita anggap biasa. Saat kita duduk diam berdua di teras setelah anak-anak tidur, tidak bicara apa-apa, tapi merasa saling terhubung. Atau saat dia menyenandungkan lagu masa kecil sambil melipat pakaian.
Itu adalah ‘seni’ yang sesungguhnya. Bukan tentang kesempurnaan teknis, tapi tentang kejujuran perasaan. Kehangatan seperti ini tidak bisa dihasilkan oleh algoritma. Ia tumbuh dari kesabaran, dari pengertian, dari ribuan hari yang kita lalui bersama.
Saya melihat bagaimana dia meletakkan ponselnya saat anak kita mulai bercerita, memberikan perhatiannya sepenuhnya. Dia seakan membangun sebuah benteng tak terlihat di rumah kita, sebuah ruang aman di mana koneksi manusia lebih berharga dari teknologi. Dia mengajarkan pada kita semua bahwa kehadiran adalah bentuk kreativitas yang paling murni.
AI sebagai Alat, Bukan Jantung Keluarga

Tentu, teknologi membantu. Kita memesan makanan lewat aplikasi, mencari informasi dengan cepat, mengatur jadwal di kalender digital. AI bisa mempermudah hidup, agar kita punya lebih banyak waktu untuk menjadi… ‘kita’. Tapi, saya melihat bagaimana dia menggunakannya dengan bijak. Dia memakainya untuk mempermudah hidup, tanpa pernah membiarkannya menggantikan inti dari keluarga ini.
Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Jantung dari sebuah rumah adalah hubungan kita. Adalah caranya tahu saya butuh kopi tanpa harus meminta. Adalah cara saya tahu dia lelah hanya dari tarikan napasnya.
Mesin bisa memproses data, tapi hanya hati manusia yang bisa memproses kehidupan dan mengubahnya menjadi cinta.
Saya jadi sadar, kolaborasi terpenting bukanlah antara manusia dan AI, tapi antara hati dengan hati. Jika AI bisa menulis cerita, kenapa kita masih lebih suka mendengar cerita teman tentang hari mereka yang kacau? Karena kita tidak hanya butuh informasi, kita butuh merasakan koneksi. Kita butuh jiwa. Dan jiwa dari semua kekacauan indah di rumah ini adalah sentuhan manusianya.
Inspirasi dari artikel yang saya baca tadi pagi tentang AI dan seni membuat saya merenung…
