Pernahkah kita berpikir—ketika pemerintah sibuk melarang media sosial untuk anak, mereka justru memuja AI yang mungkin lebih rumit? Sebagai orang tua, rasanya seperti disodori puzzle tanpa petunjuk. Tapi inilah yang kita hadapi: larangan bukan solusi, melainkan percakapan terbuka yang akan membekali anak menghadapi dunia digital.
Larangan vs. Percakapan: Mana yang Lebih Bijaksana?
Bayangkan ini: kita melarang anak bermain di luar karena takut mereka jatuh, tapi lupa mengajarkan cara menyeberang jalan dengan aman. Begitu pula dengan larangan media sosial—alih-alih melindungi, kita justru menghilangkan kesempatan mereka belajar navigasi digital. Menurut riset, larangan semata mengabaikan kebutuhan literasi digital dan regulasi diri. Padahal, ketahanan digital—keyakinan bahwa anak bisa menghadapi risiko online—adalah keterampilan kunci yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan diri, dan kemampuan praktis.
Nah, sebagai orang tua, kita bisa mulai dengan percakapan santai. Misalnya, saat anak tertarik pada AI, tanya dengan penuh keingintahuan: “Apa yang seru dari chatbot itu?” Dengarkan dulu sebelum kita berbagi kekhawatiran. Ini seperti mendaki gunung bersama—kita jadi pemandu, bukan penjaga pagar.
AI: Sahabat atau Tantangan Baru untuk Anak?
Fakta mengejutkan: hampir tiga perempat remaja telah menggunakan AI companion, dan setengahnya melakukannya secara rutin! Sepertiga bahkan menjadikan chatbot sebagai teman sosial. Wow, bukan? Walaupun data ini fokus pada remaja, fondasi ketahanan digital harus dibangun sejak usia dini agar anak siap menghadapi tantangan berikutnya. Tapi di balik angka itu, ada cerita yang perlu kita dengar. AI bukan musuh—ia bisa jadi alat belajar yang powerful, seperti compass dalam petualangan digital.
Tapi hati-hati: AI companions yang meniru teman manusia mungkin perlu dibatasi. Alih-alih melarang total, kenapa tidak jelaskan batasannya? “Nak, AI bisa membantumu belajar, tapi ingat, ia bukan pengganti obrolan dengan keluarga atau teman nyata.” Percayalah, anak-anak lebih cerdas dari yang kita kira—mereka bisa memahami jika kita berbicara dengan empati.
Membangun Ketahanan Digital Sejak Dini untuk Anak

Ketahanan digital itu seperti otot—perlu dilatih perlahan. Persiapan era AI dimulai sejak anak kecil—seperti mengajarkan aturan dasar internet sambil bermain. Mulai dari hal kecil: ajarkan anak mengenali risiko online, beri kepercayaan diri melalui pengalaman, dan latih keterampilan mengelola emosi. Contohnya, saat mereka menghadapi cyberbullying, bimbing untuk bicara pada orang dewasa tepercaya, bukan langsung menarik gadget mereka.
Ingat, anak-anak belajar dari observasi. Jika kita sendiri bijak menggunakan teknologi—seperti tidak terus-menerus scroll media sosial—mereka akan meniru. Jadi, daripada larangan, mari jadi role model yang menunjukkan keseimbangan: teknologi untuk produktivitas, tapi kehidupan nyata untuk kebahagiaan.
Percakapan Keluarga: Kunci Menghadapi Era AI

Bayangkan di akhir pekan dengan cemilan favorit—sambil ngobrol tentang AI. Tanya anak: “Kalau AI bisa mengerjakan PR, apa artinya belajar?” Diskusi semacam ini tidak hanya membuka wawasan, tapi juga memperkuat ikatan. Seperti saran ahli, mulailah tanpa judgment. Dengarkan dulu, lalu berbagi perspektif.
Kita juga bisa ajak anak eksplorasi positif AI: buat cerita bersama menggunakan tool AI, atau cari ide kreatif untuk proyek sekolah. Jadikan tech sebagai jembatan, bukan dinding. Dengan begitu, anak tak hanya siap menghadapi masa depan, tapi juga tumbuh dengan rasa percaya diri dan empati.
Mari Jadi Pemimpin, Bukan Pengawas untuk Anak
Pemerintah mungkin ingin melindungi dengan larangan, tapi sebagai orang tua, kita punya kekuatan lebih besar: kepercayaan. Jika dulu kita bisa custom Facebook page, pasti bisa atur seting gadget untuk anak! Tools sederhana sudah ada—dari parental control hingga app permission. Yang diperlukan bukan PhD, tapi kemauan untuk belajar bersama.
Jadi, daripada menunggu regulasi, mengapa kita tidak memulainya sekarang? Ajak anak diskusi tentang batasan screen time, ajarkan privasi online, dan bangun budaya digital yang sehat. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya melindungi, tapi memberdayakan mereka untuk jadi warga digital yang bertanggung jawab.
Tutup dengan Senyuman: Masa Depan Cerah Menanti
Di akhir hari, yang terpenting bukan larangan atau tech canggih, tapi hubungan kita dengan anak. Dunia digital akan terus berubah, tapi nilai-nilai kemanusiaan—seperti empati, kejujuran, dan keberanian—akan selalu relevan. Jadi, mari nikmati perjalanan ini bersama: belajar, tertawa, dan kadang khawatir, tapi selalu dengan harapan.
Siapa tahu, suatu hari nanti, anak kita akan jadi pionir yang menggunakan AI untuk kebaikan—karena kita telah membimbingnya dengan percakapan, bukan larangan. Itulah kemenangan sebenarnya, bukan?
Source: We have let down teens if we ban social media but embrace AI, New Scientist, 2025/09/03 18:00:00
