
Pernah ngerasain kayak gini sebagai orang tua? Bayangkan coba memaksa dunia serba digital sekarang ini masuk ke pola pikir tahun 1950-an. Wah, pasti nggak mungkin banget tuh! Itulah inti dari tulisan opini yang menegaskan bahwa masa depan nggak nunggu persetujuan siapa pun—ia cuma minta untuk dipahami. Perubahan besar yang digerakkan AI nggak bisa ditangani dengan pola lama kayak kerja 40 tahun lalu pensiun, atau mengandalkan model keluarga yang serba kaku. Perubahan ini nyata, cepat, dan punya dampak besar pada cara kita membesarkan anak-anak. Tantangannya buat kita bukan sekadar nerima, tapi gimana menyiapkan anak supaya bukan cuma bertahan, melainkan berkembang dengan semangat di dunia baru ini.
Mengapa Perubahan Tidak Bisa Ditunda Lagi?

Tulisan opini itu menyoroti bahwa salah paham soal perubahan sama aja kayak salah ngatur arah. Tahun 1950-an udah lompatan besar dari 1930-an, tapi sekarang kita menghadapi lompatan yang jauh lebih besar dengan AI. Stephen Wolfram bahkan bilang perkembangan sosial dan teknologi punya sifat yang nggak bisa ditebak sepenuhnya (sumber). Kita mungkin pengin dunia tetap rapi dan nyaman, tapi faktanya arus perubahan ini jalan dengan caranya sendiri. Buat orang tua, ini artinya kita nggak bisa lagi cuma ngandelin aturan lama—kita harus gesit kayak anak main lompat tali, penuh rasa ingin tahu, dan punya mental siap berubah.
Bagaimana Masa Depan Pekerjaan untuk Generasi AI?

Opini itu juga menyinggung soal kerja: model kerja 40 tahun penuh lalu pensiun udah nggak realistis. Ada wacana Universal Basic Income karena mesin dan AI bisa gantiin banyak jenis pekerjaan. Dari sisi orang tua, ini mungkin bikin was-was. Tapi coba lihat dari sisi lain: bukankah ini justru membuka peluang buat generasi anak-anak kita kerja di bidang yang lebih kreatif, lebih manusiawi, dan lebih sesuai minat mereka? Pernah kepikiran nggak, kalau kerja itu sebenarnya soal makna, bukan cuma gaji? Itu nilai yang bisa kita tanam: bahwa kerja bukan sekadar gaji, tapi tentang kontribusi, makna, dan kebahagiaan.
Pendidikan Anak di Era Digital: Akses Tanpa Batas?

Vinod Khosla bilang platform berbasis AI bisa bikin pendidikan berkualitas tinggi bisa diakses siapa aja, tanpa peduli kode pos atau status ekonomi (sumber). Bayangin, anak-anak nggak lagi terkunci sama keterbatasan sekolah di sekitar rumah, tapi bisa terbuka pada dunia penuh guru virtual, mentor, dan pengalaman belajar yang lebih luas. Buat kita, tantangannya adalah jaga keseimbangan: gimana caranya biar anak nggak tenggelam di layar, tapi tetap punya waktu lari-larian di taman, kotor-kotoran main tanah, atau bikin imajinasi liar lewat aktivitas nyata. Seperti kimchi yang dikemas modern, AI bisa jadi teman anak tanpa ngilangin esensi masa kecil mereka.
Keterampilan Masa Depan: Apa yang Paling Dibutuhkan?

Sejarah singkat AI nunjukin semua ini masih awal, dan perkembangan paling besar justru belum datang (sumber). Artinya, anak-anak kita bakal tumbuh di dunia yang terus berubah drastis. Jadi, keterampilan inti bukan cuma soal teknologi, tapi juga karakter: ketahanan, etika, empati, dan kerja sama. Nilai sederhana kayak jujur, berbagi, dan peduli bisa jadi jangkar di tengah derasnya arus perubahan. Pernah lihat mata anak berbinar waktu mereka nanya kenapa AI bisa jawab pertanyaan? Nah, gimana caranya kita terus jaga api keingintahuan itu?
4 Tips Praktis Orang Tua di Era AI

- Dorong rasa ingin tahu: Kalau mereka penasaran gimana aplikasi bisa jawab pertanyaan, jadikan itu momen main eksperimen sederhana bareng.
- Seimbangkan layar dengan dunia nyata: Contohnya, setelah belajar pakai aplikasi pintar, ajak mereka bikin prakarya seru dari barang bekas di rumah.
- Latih berpikir kritis: Saat mereka nemu sesuatu di internet, tanyakan: “Menurutmu ini bener atau cuma karangan?” Dengan cara ini, mereka belajar milih, bukan cuma nerima.
- Jangan lupakan kegembiraan: Dunia bisa terasa ribet, tapi tawa anak pas lari di taman atau rasa puas setelah nyelesain puzzle sederhana itu bekal paling berharga untuk masa depan.
Keseimbangan Hidup: Menutup dengan Harapan

Masa depan memang nggak bakal nunggu izin siapa pun. Tapi kita punya kendali atas gimana anak-anak kita jalanin itu. Kita bisa pilih buat takut, atau pilih menyambutnya dengan senyum, sambil membekali anak dengan rasa ingin tahu, hati yang tangguh, dan semangat main yang nggak pernah padam. Dan bukankah itu yang sebenarnya kita harapkan—anak-anak yang tumbuh bukan cuma cerdas menghadapi AI, tapi juga penuh kasih, siap nyebarin kebaikan di dunia yang terus berubah?
Source: Op-Ed: Trying to fit an AI society world into the 1950s? Forget it, Digital Journal, 2025-08-21 01:08:22
