
Tadi malam, setelah anak-anak akhirnya terlelap dan rumah kembali sunyi, aku duduk di sampingmu sambil memegang secangkir teh hangat. Matamu masih terlihat lelah setelah seharian bekerja, tapi masih ada semangat saat kita mulai berbicara tentang masa depan mereka. ‘Bagaimana ya nanti ketika mereka besar?’ kau bertanya dengan suara lembut. pertanyaan itu terus terngiang di kepala aku, mengingatkanku betapa dunia yang akan mereka hadapi sangat berbeda dengan dunia masa kecil kita.
Kekhawatiran yang Kita Rasakan Bersama

Aku ingat bagaimana kadang kau melihat anak-anak bermain dengan tablet mereka, dan ada kerutan halus di dahimu. Bukan, kan, karena kau tidak suka teknologi, tapi karena kau khawatir—apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan mereka?
Dalam diam-diam, aku juga merasakan hal yang sama. Ketika mereka bertanya kenapa smartphone bisa berbicara, atau bagaimana YouTube tahu video apa yang mereka suka, aku tersenyum melihat rasa ingin tahu mereka yang tak terbatas. Tapi di balik senyum itu, ada pertanyaan yang sama: apakah kita memberikan fondasi yang cukup untuk masa depan mereka?
Tapi justru dalam kekhawatiran itu, aku melihat sesuatu yang luar biasa…
Kekuatan yang Kulihat dalam Dirimu

Dan di situlah, sayang, aku selalu kagum padamu. Cara kau menjawab pertanyaan mereka dengan kesabaran, menjelaskan dengan analogi sederhana tentang bagaimana mesin ‘belajar’ seperti mereka belajar membaca.
Kau tidak pernah menakut-nakuti mereka dengan cerita tentang robot yang akan mengambil alih dunia, tapi kau mengajarkan mereka untuk menjadi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab. Aku melihat bagaimana kau membimbing mereka untuk bertanya ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’, bukan hanya ‘apa’.
Itulah yang sebenarnya mereka butuhkan—bukan pengetahuan teknis yang rumit, tapi kemampuan untuk berpikir kritis dan tetap penasaran.
Ritual Kecil yang Membentuk Besar

Aku perhatikan bagaimana kau menciptakan momen-momen kecil itu untuk keluarga kecil kita. Saat makan malam, ketika kau mematikan semua gawai dan kita benar-benar berbicara. Atau ketika weekend, kita tetap pergi ke taman meski mereka bisa main game di rumah.
Kau selalu bilang, teknologi harus melayani kita, bukan kita yang melayani teknologi. Dan dalam ritual-ritual sederhana itulah, sebenarnya kita sedang membangun fondasi terkuat untuk mereka—koneksi manusiawi yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh AI mana pun.
Pelajaran dari Kegagalan Kita Bersama

Ingat waktu itu ketika kita terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa waktu bermain bersama mereka? Aku belajar darimu bagaimana mengakui itu pada anak-anak, dan bersama-sama mencari solusi.
Kau yang mengingatkanku bahwa mempersiapkan masa depan mereka bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menjadi sadar. Tentang mengetahui kapan harus memeluk mereka ketimbang memberinya tablet, kapan harus mendengarkan cerita mereka ketimbang mengecek email.
Keyakinan yang Kita Bangun Bersama
Malam ini, setelah bicara panjang tentang masa depan mereka, aku melihat senyum kecil di wajahmu. Bukan lagi senyum lelah, tapi senyum penuh keyakinan.
Kita mungkin tidak tahu persis seperti apa dunia 20 tahun lagi, tapi kita tahu bahwa selama kita terus berbicara, terus bertanya, dan terus belajar bersama—kita akan baik-baik saja. Dan yang terpenting, mereka akan baik-baik saja.
Karena yang kita berikan bukan hanya persiapan untuk era AI, tapi fondasi sebagai manusia yang tetap manusiawi di tengah teknologi.
Dan malam ini, sambil memegang tanganmu, aku yakin kita bisa menghadapi masa depan bersama.
Sumber: AI Organizational Readiness Crisis Revealed in New Report: Only 2% of Companies Are Fully Prepared for the AI Revolution, Globe Newswire, 2025-09-23
