
Setiap hari saya bertanya: gimana ya caranya memberi pengalaman belajar terbaik buat putri saya di dunia digital yang serba cepat ini? Di satu sisi ada keajaiban teknologi, di sisi lain ada kepuasan belajar tradisional. Bisa nggak sih dua-duanya jalan bareng tanpa saling menyingkirkan? Dan kalau kita bicara AI in education, apakah ia bisa jadi sahabat untuk mengasah cara berpikir kritis anak, bukan malah melemahkannya?
Dalam perjalanan jadi orang tua, saya sadar kuncinya itu bukan memilih salah satu, tapi nyampur dengan pas! Kaya kimchi dicampur maple syrup—unik, sedikit aneh, tapi bisa jadi kombinasi seru kalau pas porsinya. Yuk, kita ngobrol soal gimana anak-anak bisa tumbuh sambil tetap menikmati keajaiban belajar yang autentik dan penuh rasa ingin tahu.
Mengajar Melalui Bermain: Teknologi dan Alam

Belajar paling asyik itu saat anak lagi main! Main adalah bahasa alami mereka, cara paling alami buat eksplorasi dunia. Dari main, mereka belajar kerjasama, kreativitas, sampai pemecahan masalah—semuanya tanpa merasa sedang ‘belajar’.
Nah, gimana teknologi bisa nyusup ke sini? Saya lihat teknologi bisa jadi asisten keren yang bikin pengalaman main makin kaya! Misalnya, aplikasi interaktif yang ngenalin konsep sains dasar bisa bikin anak terpesona. Tapi tunggu—jangan langsung gambar kesimpulan! Teknologi ini tetap saya posisikan sebagai pelengkap, bukan pengganti pengalaman main nyata.
Yang seru itu ketika teknologi dan alam ketemu! Sering kali, sebelum jalan ke taman, kami buka aplikasi pengenalan flora dan fauna, lalu di lapangan kami cari versi nyatanya. Jadi anak bisa lihat sendiri: “Oh, ini lho pohon yang tadi muncul di layar!”. Teknologi teman atau pengganti main? Pertanyaan ini selalu saya simpan dalam hati. Buat saya, tujuan utamanya tetap keseimbangan. Pernah ngerasain ini juga?
Kuncinya bukan teori ribet, tapi nyampur dengan pas. Kalau kebanyakan layar, anak bisa kehilangan momen nyata—kayak deg-degan saat berhasil menangkap kupu-kupu, atau puasnya nemu batu unik di sungai kecil. Itu pengalaman yang nggak bisa diganti piksel.
Jalan-jalan Musim Gugur: Menemukan Keajaiban Kecil

Ada yang istimewa banget dari jalan-jalan ala keluarga Korea-Kanada kami di musim gugur! Daun berubah warna, udara segar, dan selalu ada kejutan kecil yang bikin kami berhenti sejenak. Momen-momen kayak gini bukan cuma jalan-jalan biasa, tapi kesempatan ngajarin anak tentang observasi, rasa ingin tahu, dan kekaguman pada dunia sekitar.
Biasanya saya siapin ‘penemuan kecil’ buat putri saya. Kadang daun berbentuk hati, kadang batu berkilau, atau serangga lucu yang tiba-tiba nongol. Dari situ, anak belajar lihat detail, bukannya cuma sekilas. Berhenti sejenak, nikmati, dan hargai hal-hal kecil—ini skill langka di zaman serba cepat.
Teknologi bisa bantu juga. Aplikasi pengenalan tanaman misalnya, bikin kami ngerti lebih banyak tentang apa yang kami lihat. Tapi lagi-lagi, itu cuma alat bantu. Yang utama tetap interaksi nyata, tawa saat menemukan sesuatu bareng, dan percakapan iseng yang muncul di sepanjang jalan. Itulah yang mereka bawa pulang di hati, bukan sekadar data di otak.
Yang paling berharga? Senyumnya saat menemukan keajaiban kecil—di layar maupun di sungai. Itu pengingat bahwa tujuan kita bukan sekadar mengajarkan, tapi menemani mereka menikmati perjalanan belajar itu sendiri.
Source: SHERI FEW: The AI Threat To Critical Thinking In Our Classrooms, Daily Caller, 2025-08-24 02:26:53
