Coba bayangkan angka yang setara dengan ekonomi beberapa negara digabung jadi satu! Tesla baru-baru ini mengusulkan paket kompensasi untuk Elon Musk yang mencapai US$1 triliun atau sekitar Rp 15.000 triliun—nominal yang bikin kita langsung terdiam sejenak. Tapi di balik sensasi angka ini, justru ada cerita tentang visi, kerja keras, dan pelajaran berharga untuk kita sebagai orang tua yang sedang membesarkan generasi digital.
Apa Target Nyata di Balik Angka Fantastis Ini?
Rencana ini bukan sekadar tentang uang, melainkan tantangan ekstrim untuk mencapai sesuatu yang belum pernah terjadi. Musk baru dapat 12% saham Tesla jika valuasi perusahaan menyentuh US$8,6 triliun—seolah diminta membangun delapan gedung tertinggi di dunia dalam waktu bersamaan. Dewan Tesla percaya visi Musk inilah kunci masa depan mereka.
Saya teringat cara kita membangun kepercayaan pada anak. Saat si kecil ingin menaiki ayunan tertinggi di taman, kita tak langsung bilang “Nanti jatuh!” Tapi pelan-pelan latih keseimbangannya sambil pegang punggungnya. Begitu pula dengan ambisi besar—yang dibutuhkan adalah fondasi yang kuat, bukan sekadar angka akhir.
Bagaimana Ini Menyentuh Dunia Parenting?
Ketika baca tentang target Musk yang seperti film fiksi ilmiah, saya justru berpikir tentang obrolan pagi tadi dengan anak. Saat sarapan, ia bercerita ingin menciptakan robot yang bisa mengantar teman-temannya ke sekolah. Alih-alih menyebut “Itu mustahil”, saya ajak ia gambar konsepnya di tissue bekas. “Wah keren! Lalu bagaimana robot ini tahu jalan?”
Di rumah, kami merayakan prosesnya, bukan hasil akhir. Seperti ketika ia gagal membuat origami burung yang sempurna, tapi tetap semangat mencoba sampai bentuknya mirip. Bukankah lebih berarti ketika kita menghargai usahanya mengatur keseimbangan sayap kertas itu, daripada hanya menuntut hasil rapi?
Mempersiapkan Anak untuk Dunia yang Berubah Cepat
Yang menarik, 80% nilai Tesla di masa depan menurut Musk akan datang dari robot humanoid Optimus. Bayangkan betapa asingnya dunia ini kelak bagi anak kita. Tapi justru di sinilah tantangan parenting sebenarnya: bagaimana mengajarkan keterampilan abadi yang tak bisa digantikan mesin.
Setiap Sabtu, kami punya ritual eksperimen dapur. Tadinya cuma iseng campurkan baking soda dan cuka, tapi kini jadi ajang diskusi seru tentang reaksi kimia. Saat gelembungnya meletus, anak berteriak “Wah seperti roket!”—dan disinilah magisnya: ia belajar bahwa setiap masalah punya ratusan solusi, asal berani bereksperimen.
Pertanyaan yang Layak Direnungkan Bersama
Coba tanya diri sendiri: Saat kita bermimpi untuk anak, apakah kita lebih sering membayangkan rapor penuh nilai A atau justru sifat baiknya saat membagi snack ke teman yang kesepian?
Saya yakin, kesuksesan terbesar bukanlah angka di rekening, tapi jejak kebaikan yang ditinggalkan. Seperti ketika anak pulang sekolah sambil bercerita bagaimana ia mengajari teman baru menyusun puzzle. Itu justru momen di mana saya merasa sebagai orang tua: kita sedang menanam benih karakter, bukan sekadar prestasi.
Langkah Sederhana yang Bisa Dimulai Hari Ini
Cobalah diskusikan berita seperti kasus Musk ini bersama anak. Tanya pendapatnya: “Kalau kamu punya impian besar, langkah kecil apa yang mau kamu ambil besok?” Lalu, ciptakan sistem apresiasi untuk usaha, bukan hanya hasil. Misalnya, stiker khusus untuk tiap kali ia bertanya kritis atau membantu adiknya.
Yang paling penting? Nikmati prosesnya. Saat kita terlalu fokus pada angka Rp 15.000 triliun itu, jangan sampai melewatkan tawa lepas anak saat bermain air hujan di halaman. Karena di situlah sebenarnya kekayaan terbesar kita bersemayam.
Source: Tesla seeks to award Elon Musk $1 trillion pay packet, Irish Times, 2025/09/05 11:08:34