
Masih ingat waktu itu? Saat kita lihat si kecil asyik main game di tablet, tiba-tiba muncul iklan aneh yang bikin kita saling pandang… khawatir. Sebagai orangtua di zaman digital, perasaan itu wajar kok. Saya pun merasakannya – antara bangga lihat mereka jago teknologi tapi juga gelisah akan bahaya yang mengintai. Bagaimana menjaga keseimbangannya? Yuk kita bicara dari hati ke hati, sama-sama orangtua yang sedang belajar.
Kontrol Orangtua: Bukan Censor Tapi Pagar Pengaman
Pernah merasa seperti polisi lalu lintas di dunia maya? Saya juga. Nah, daripada terus merasa jadi polisi, saya coba cari cara yang lebih ringan. Tapi setelah coba beberapa aplikasi parental control, ternyata fungsi utamanya justru memberi ruang aman untuk eksplorasi. Seperti pagar taman bermain – anak bebas berlari, tapi nggak khawatir tersesat ke jalan raya.
Coba mulai dengan fitur dasar: batasi waktu pakai sesuai usia (2 jam/hari untuk anak SD), filter konten dewasa otomatis, dan atur ‘zona bebas gadget’ seperti kamar tidur atau meja makan. Nggak perlu sempurna, yang penting konsisten. Perlahan, kita bisa ajak diskusi: “Kenapa menurut Adik waktu mainnya kita batasi?”
Dari Roblox sampai YouTube: Hadir Tanpa Mengekang

Ketika artikel PBESI memperingatkan bahaya konten negatif di Roblox, hati saya ikut dag-dig-dug. Tapi larangan total malah bikin penasaran, kan? Akhirnya kita coba strategi baru: main bersama dulu 10 menit sambil obrolkan batasannya. “Kalau ada karakter pakai kostum nggak pantas, kita keluar ya?”
Sama juga dengan YouTube. Daripada marah melihat history penelusuran aneh, lebih baik ajak mereka jadi ‘youtuber cilik’: rekam kegiatan sehari-hari lalu edit bersama. Sekalian praktikkan digital footprint: “Kalau video ini dilihat Om Nardi di Kanada, perasaan Adik gimana?”
Kecanduan Gadget: Bukan Salah Anak Sepenuhnya

Pernah nggak sadar kita sendiri sibuk dengan HP sementara anak minta ditemani? Saya sering… seperti waktu kita ajak anak ke pasar tradisional tapi dia malah cerita soal game. Dan itulah awal mula kecanduan: anak belajar dari contoh. Solusinya bukan menyita gadget tapi menawarkan alternatif yang lebih menarik.
Coba buat ‘kelas offline’ di rumah: eksperimen sains sederhana dengan bahan dapur, atau tantangan olahraga lucu ala TikTok tanpa merekam. Perlahan mereka akan paham – gadget itu alat bantu, bukan sumber kebahagiaan utama. Seperti kata psikolog: “Anak yang terpenuhi kebutuhan emosionalnya akan lebih mudah lepas dari gawai.”
Bicara Privasi Online dengan Bahasa Kasih
Masih membekas di ingatan ketika anak sulung saya tak sengaja membagikan foto keluarga ke grup game. Waktu itu, saya hampir marah… tapi teringat wajah ketakutannya. Akhirnya kami ngobrol sambil menyusun aturan sederhana bersama:
- Tanya orangtua sebelum isi data pribadi (nama asli, alamat, sekolah)
- Lapor kalau ada pesan aneh atau merasa nggak nyaman
- Jangan share password ke siapapun – bahkan teman dekat
Cara ini jauh lebih efektif daripada sekadar larangan. Anak merasa dilindungi, bukan diawasi.
Ketika Teknologi Justru Mempererat

Di tengah kekhawatiran akan AI kloning suara atau penipuan online, ada sisi positif yang sering terlupakan: gadget bisa jadi jembatan komunikasi jika digunakan bijak. Saya dan istri sering memanfaatkan fitur shared calendar untuk mengatur jadwal anak, atau pakai aplikasi board game digital untuk kumpul keluarga akhir pekan.
Jadi… masih suka dag-dig-dug lihat anak pegang gadget? Tenang, kita sama-sama belajar kok. Tapi pelan-pelan kita belajar – bukan tentang mengendalikan teknologi, tapi membimbing manusia kecil yang sedang belajar berlayar di samudera digital.
Mereka butuh nahkali yang tegas tapi penuh pengertian. Dan kita? Sedang belajar menjadi nahkali itu, hari demi hari.
Source: Neuralink, Elon Musk, and the Race to Put Chips Into Our Brains, Rolling Stone, 2025/09/13
