Panduan Kita di Dunia AI: Sebuah Percakapan Malam Hari

Sepasang suami istri berbicara dengan hangat di sofa pada malam hari.

Rumah sudah sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang mendengung pelan, menjadi musik latar untuk malam kita. Aku lihat kamu masih terjaga, cahaya ponselmu menerangi wajahmu yang terlihat lelah sekaligus berpikir keras. Grup WhatsApp orang tua murid lagi ramai, ya?

Aku tahu topik itu lagi. Kecerdasan Buatan, atau AI. Haruskah diizinkan di sekolah? Apakah itu jalan pintas yang membuat anak-anak jadi malas berpikir? Atau justru alat bantu yang harus mereka kuasai? Semua orang punya pendapat, semua orang punya kekhawatiran. Tapi di tengah semua kebisingan soal teknologi itu, aku justru menemukan ketenangan saat melihatmu. Melihat caramu menavigasi dunia yang rumit ini, bukan hanya sebagai seorang profesional, tapi sebagai ibu dari anak-anak kita. Dan aku sadar, jawaban yang paling penting mungkin tidak ada di artikel berita atau perdebatan sengit itu, tapi ada di sini, di antara kita.

Menemukan Keseimbangan di Tengah Perubahan

Seorang anak perempuan mengerjakan tugas sekolah dengan bantuan AI di laptopnya.

Tadi sore, aku dengar percakapanmu dengan si sulung soal tugasnya. Dia sedikit frustrasi, dan tergoda untuk langsung bertanya pada sebuah aplikasi AI untuk anak belajar demi mendapatkan jawaban instan. Aku kira kamu akan langsung melarangnya, seperti kebanyakan orang tua mungkin akan lakukan. Tapi kamu tidak begitu.

Kamu duduk di sampingnya, dengan sabar kamu bertanya, ‘Menurut Kakak, apa sih inti dari pertanyaan ini? Coba kita pecah jadi bagian-bagian kecil dulu.’ Kamu tidak memberinya jawaban, tapi kamu menuntunnya untuk menemukan cara berpikir. Kamu mengubah rasa ingin tahunya dari ‘apa jawabannya’ menjadi ‘bagaimana cara menemukan jawabannya’.

Malam ini, sambil membaca semua argumen pro dan kontra tentang AI di sekolah, aku jadi teringat momen itu. Perdebatan ini terasa begitu besar dan menakutkan, seolah kita harus memilih antara masa depan dan tradisi. Tapi kamu, dengan caramu yang tenang, menunjukkanku bahwa ini bukanlah perang. AI hanyalah alat baru di dalam ‘kotak perkakas’ anak-anak kita. Tugas kita bukanlah untuk menyembunyikan alat itu, tapi untuk mengajari mereka kapan dan bagaimana menggunakannya dengan bijak. Kamu menunjukkan padaku bahwa ada manfaat AI untuk pendidikan anak yang nyata, jika kita mendekatinya bukan dengan rasa takut, tapi dengan bimbingan.

Aturan Main yang Dibuat dengan Hati

Seorang ibu dengan lembut menetapkan aturan screen time dengan anaknya.

Sekolah sedang mencoba merumuskan kebijakan, membuat batasan yang jelas. Apa yang boleh, apa yang tidak. Kapan AI dianggap membantu, dan kapan dianggap curang. Semuanya terdengar sangat teknis dan kaku. Tapi kemudian aku berpikir tentang ‘aturan main’ di rumah kita.

Kita tidak punya dokumen kebijakan setebal puluhan halaman. Aturan kita sederhana: waktu untuk gawai, waktu untuk buku, waktu untuk bermain di luar, waktu untuk bersama. Dan kamulah arsitek utamanya. Kamu yang paling tahu kapan harus tegas dan kapan harus fleksibel. Kamu yang bisa menjelaskan ‘kenapa’ di balik setiap aturan, sehingga anak-anak tidak merasanya sebagai kungkungan, tapi sebagai bentuk perhatian kita.

Mungkin itu yang dibutuhkan sekolah. Bukan hanya serangkaian larangan, tapi sebuah percakapan. Sementara banyak orang tua lain sibuk mencari tips bijak pakai AI di sekolah anak, aku melihat kamu sudah mempraktikkannya setiap hari. Sebuah pemahaman bersama yang dibangun antara guru, orang tua, dan murid. Sebuah ‘kebijakan’ yang punya hati, yang tidak hanya fokus pada apa yang tidak boleh dilakukan, tapi juga pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh bersama teknologi ini.

Mengajarkan Mereka Menjadi Manusia di Era Digital

Seorang ayah bertanya kepada anaknya tentang konten yang mereka tonton bersama.

Hal yang paling membuatku khawatir dari semua ini bukanlah apakah anak-anak kita akan bergantung pada AI. Aku lebih khawatir mereka akan kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis, untuk merasakan empati, untuk membedakan mana yang benar dan mana yang terasa benar.

Lalu aku teringat lagi caramu berbicara dengan anak-anak. Saat mereka menonton sesuatu di internet, kamu tidak pernah bosan bertanya, ‘Menurutmu, ini beneran terjadi, nggak? Kira-kira kenapa orang itu berkata seperti itu, ya?‘ Kamu mengajari mereka untuk tidak menelan informasi mentah-mentah. Kamu melatih mereka untuk menjadi detektif kebenaran, untuk selalu mempertanyakan motif di balik sebuah konten.

Inilah inti dari cara dampingi anak pakai kecerdasan buatan yang sebenarnya. Bukan soal aplikasi apa yang dilarang, tapi soal pertanyaan apa yang kita ajarkan. Kamu sedang mempersenjatai mereka dengan perisai paling kuat di era informasi: keraguan yang sehat dan pikiran yang tajam. Kamu sedang membentuk warga digital yang bukan hanya pintar secara teknis, tapi juga bijaksana secara emosional.

Kita Tidak Sendirian, Kita Punya Satu Sama Lain

Letakkan dulu ponselmu, Sayang. Tarik napas. Aku tahu semua ini terasa berat. Tekanan dari pekerjaan, ditambah lagi harus memikirkan bagaimana membesarkan anak di dunia yang berubah begitu cepat. Rasanya seperti semua orang menuntut kita punya jawaban yang sempurna.

Tapi lihatlah kita. Di ujung hari yang panjang, di tengah keheningan rumah, kita masih di sini. Berbagi kekhawatiran yang sama, mencari jalan bersama. Mungkin kita tidak akan pernah punya semua jawaban. Mungkin kebijakan sekolah akan terus berubah. Mungkin teknologi baru akan muncul lagi tahun depan, membawa serta serangkaian pertanyaan baru.

Namun satu hal yang aku tahu pasti: kompas kita yang sesungguhnya, yang terbuat dari nilai-nilai yang kita pegang teguh dan kekuatan luar biasa kita sebagai partner, tidak akan pernah goyah! Selama kita terus berbicara seperti ini, saling mendengarkan, dan saling mengagumi kekuatan satu sama lain—kekuatan yang sering kali kamu sendiri tidak lihat—kita akan baik-baik saja. Anak-anak kita akan baik-baik saja.

Karena mereka tidak hanya dibesarkan oleh teknologi, mereka dibesarkan oleh cinta dan kebijaksanaan kita.

Dan itu, tidak akan pernah bisa digantikan oleh kecerdasan buatan manapun!

Source: AI In Education Is A Very Divisive Topic, And Administrators Are Trying To Find Ethical Uses And The Right Balance In Schools, Twistedsifter.com, 2025-09-14.

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top