
Bayangkan malam Minggu yang tenang, anak-anak sudah terlelap setelah seharian bereksperimen dengan aplikasi menggambar berbasis AI. Di tengah deburan ombak rekaman pantai tadi siang di laptop, kita menatap gambar buatan algoritma itu—detailnya sempurna, warnanya memukau. Tapi ada yang mengganjal (nggak tahu ya, tiba-tiba aja hatiku gelisah). Seperti kopi tanpa aroma, ada hangatnya tapi tak ada ceritanya.
Persis seperti ekspresi anak kita ketika tahu gambar idamannya bisa dibuat instan hanya dengan mengetikkan beberapa kata kunci. Di situlah kita tersadar: tugas kita bukan melawan teknologi, tapi merajut jembatan antara keajaiban algoritma dan keunikan sentuhan manusia.
Ketika Jari-Jari Mungil Bertanya Tentang Robot Pelukis
Pernah mengalami situasi ketika si kecil mendadak bertanya ‘Karya siapa yang lebih bagus, aku atau robot?’ Bunda pernah bilang dengan bijak, ‘Kalau gambar robot itu seperti kue dari toko—rapi dan sempurna. Tapi gambar kamu tuh kayak kue buatan Bunda, ada sedikit gula yang tumpah di pinggiran loyang. Justru itu yang bikin spesial.’
Di rumah, kami mulai ritual baru saat melihat karya seni: berburu tanda tangan tak terlihat. ‘Coba cari deh di mana sentuhan tangannya,’ bisik saya ketika melihat mural di taman. ‘Tuh lihat ada garis yang agak goyang di sini, pasti tangannya ngilu waktu naik tangga,’ seru si sulung dengan bangga.
Nah, ada riset—ya ampun, 72% anak bisa mengidentifikasi karya manusia dengan memerhatikan ketidaksempurnaan ini.
Yang lucu, nenek malah bilang gambar kucing bertelinga persegi buatan cucunya ‘lebih orisinal’ daripada gambar algoritma yang sempurna. ‘Bubur dingin saja selalu ada gurihnya,’ katanya berfilosofi sambil menunjuk gambar mobil berkaki seribu yang ditempel di kulkas.
Ketidaksempurnaan itu justru menjadi tanda bahwa di balik setiap goresan ada detak jantung, ada cerita, ada cinta.
Merajut Tradisi dan Teknologi dalam Keseharian
Di antara getar notifikasi dan deru laptop, kami membuat tradisi Jumat sore yang unik: nenek menganyam ketupat dari janur, saya memotret prosesnya dengan kamera analog, sementara Bunda mengajari anak mengubah fotonya menjadi GIF animasi.
‘Teknologi itu seperti kuas baru,’ kata Bunda suatu hari sambil mencontohkan cara menggambar digital. ‘Tapi kanvas terpenting tetaplah di sini…’—dan dia menepuk-nepuk dada anak kami.
Hasil karya hybrid keluarga kami pun unik: sebuah QR code dari anyaman daun kelapa yang ketika dipindai akan memutar video tutorial menganyam. Si bungsu girang bukan main melihat senyum bangganya sendiri.
Pelajaran penting yang kami petik: biarkan anak merasakan kontras tekstur. Dinginnya logam tablet vs hangatnya kertas buatan tangan. Halusnya layar sentuh vs kasarnya pewarna alami dari kunyit. Seperti kata guru seni anak kami, ‘Sentuhan manusia itu meninggalkan detak jantung yang tak bisa direplikasi mesin.’
Dialog-Dialog Kecil yang Menumbuhkan Kearifan
Pembicaraan terbaik sering muncul di saat tak terduga. Seperti ketika menyusun puzzle Candi Borobudur minggu lalu, bungsu kami bertanya, ‘Kenapa orang jaman dulu susah-susah bikin candi kalau sekarang bisa pakai printer 3D?’
‘Kalau semua serba instan, kita bisa kehilangan cerita di balik cangkir kopi yang tumpah saat mengukir,’ jawab Bunda sambil menunjuk noda kecap di puzzle.
Dan yakin deh, pelan-pelan mereka mulai menghargai proses ketika memahami usaha fisik di balik karya.
Untuk remaja, kami mulai dengan pertanyaan provokatif: ‘Kalai chatGPT bisa menulis puisi indah, perlukah kita belajar sastra?’ Diskusi pun mengalir sampai larut—tentang bagaimana emosi manusia bisa mengubah kata-kata biasa menjadi puisi yang menyentuh.
Kami juga membuat permainan baru: setiap kali melihat karya AI yang memukau, kami mencari satu seniman lokal dengan cerita unik. Seperti ibu penjual gorengan di depan sekolah yang ternyata maestro origami di waktu luang. Karena keajaiban sejati terletak pada ketidaksempurnaan manusia yang penuh makna—sesuatu yang tak akan pernah bisa direplikasi oleh algoritma manapun.
Source: New Attraction on Disney’s Main Street Raises Accusations of AI Involvement, Inside the Magic, 2025/09/13