Masa Depan Sejati Dibangun di Sini (Bukan di Layar Semata)
Pernah merasakan hening sehabis mesin cuci berhenti berdengung? Saat hanya tersisa detak jam dinding dan nafas panjang melepas lelah? Malam ini, aku teringat kisah Malcolm McLean—sopir truk yang mengubah dunia dengan kontainer kapal, tapi tak pernah mengejar ketenaran. Membuatku tersadar: selama ini aku menyaksikanmu membangun sesuatu yang jauh lebih berharga daripada tren AI manapun.
Ketika Meja Dapur Lebih Berharga dari Teknologi Canggih
Ingat minggu lalu saat anak bertanya pada Google tentang asal hujan? Kau tahan pertanyaannya di udara—“Tunggu, bagaimana Google tahu jawabannya?”—sambil mengoleskan selai roti dan menjelaskan bahwa seseorang harus mengajarkannya dulu. Saat itulah aku paham: kau menjadi Malcolm McLean kami. Bukan dengan kontainer, tapi dengan sabar membangun pondasi manusiawi yang tak bisa diganti algoritma.
Seperti saat kau tunjukkan pada anak mengapa gelas buatan tangan mereka lebih bermakna daripada NFT—“Karena Nenek langsung tersenyum saat memegangnya, itu nilai sejati.” Mata uang masa depan hidup dalam momen seperti ini—kesabaranmu ketika sekeliling menuntut jawaban instan.
Ketika Putri Kita “Menguji” ChatGPT dengan Rajutannya
Tertawa kuingat artikel tentang “paradoks bufe AI”—perasaan aneh di mana teknologi berlimpah justru menciptakan rasa lapar baru. Lalu kau mengeluarkan laporan “nilai robot” karya Mia dari sekolah. Masih ingat bagaimana dia memberi nilai C pada cerita ChatGPT karena “bingung menyampaikan perasaan”? Komentarmu yang sederhana: “Dia mengkritik mesin lebih tajam dari CEO!”
Terbukti saat makan malam kemarin. Saat Ivy bertanya apakah AI bisa membuatnya terkenal, kau tak langsung memberi ceramah. Cukup berikan jarum dan benang: “Mana yang dapat lebih banyak pujian besok: syal buatanmu atau gambar AI itu?” Tentu saja tiga guru memuji syalnya, sementara gambar cetak cuma dapat “kelihatan keren.” Kau mengajarkan arti baru kelangkaan: di dunia salinan digital tak terbatas, sentuhan manusia menjadi harta termahal.
Berkebun Teknologi: Di Mana Kesabaranmu Berbuah Manis
Memandangmu menerangkan ragi sambil menguleni adonan, aku teringat peringatan artikel—“kekayaan jarang turun pada pembangun pondasi.” Tapi kekayaanmu tumbuh berbeda. Seperti saat kau ajak anak menguji asisten suara dengan logat Jawa kakek, mengungkap ketimpangan teknologi. Atau Sabtu-sabtu di mana dapur kita menjadi “pos detektif AI” lengkap dengan kaca pembesar untuk mengamati kesalahan rekomendasi.
Revolusi sejati bukan di headline media, tapi di sorak anak ketika chatbot ‘kurang hangat’ atau pertanyaan ‘apa robot bisa kesepian?’
Saat teman membanggakan sertifikat teknik prompt engineering, aku tersenyum ingat kurikulummu yang lebih dalam: “Mengapa filter foto tidak mengenali pipi keriput Mama? Apakah Siri mengerti lelah?” Sejarah akan melupakan istilah teknis populer, tapi pertanyaan ini akan menjadi kompas hidup anak-anak kita. Benar katamu—kita bukan menambang emas, tapi mengomposkan hype menjadi tanah subur tempat keterampilan sejati bertumbuh.
Seperti kontainer McLean yang memungkinkan usaha kecil berkembang, warisanmu serupa: anak yang memegang teknologi seperti kartu perpus bukan kupon undian. Revolusi sejati bukan di headline media, tapi di sorak anak ketika chatbot “kurang hangat” atau pertanyaan “apa robot bisa kesepian?” Ini tak akan viral di LinkedIn besok. Tapi jauh setelah demam AI berlalu, kebun kita akan tetap berbuah manis.
Source: AI Will Not Make You Rich, Join Colossus, 2025/09/13
