
Akhirnya rumah ini senyap juga, ya. Hanya ada suara dengung kulkas dan napas kita yang mulai teratur setelah seharian berlari.
Tadi, selagi menidurkan anak-anak, aku sempat membaca sebuah artikel. Tentang AI—kecerdasan buatan. Awalnya terdengar begitu teknis, begitu jauh. Tapi semakin aku membacanya, anehnya, yang terbayang di benakku justru kamu.
Artikel itu membahas bagaimana kecerdasan buatan dalam kehidupan keluarga bukan lagi sekadar alat, tapi mulai menjadi ‘mitra’. Mereka bicara tentang kolaborasi manusia dan AI di rumah. Dan aku tersenyum sendiri. Karena di rumah ini, aku melihat bentuk kolaborasi paling canggih dan paling tulus setiap hari, dan itu tidak ada hubungannya dengan kode atau algoritma. Itu adalah caramu menavigasi dunia kita bersama.
Mitra Sejati, Bukan Sekadar Pengganti

Artikel itu memberikan analogi menarik: ‘AI adalah sapu elektrik yang membersihkan debu, agar kita bisa fokus mendekorasi ruangan.’ Aku langsung teringat caramu mengatur semuanya.
Saat kamu memesan kebutuhan dapur lewat aplikasi di ponsel sambil menjawab pertanyaan si sulung tentang PR-nya, itu bukan berarti kamu digantikan oleh teknologi. Justru sebaliknya. Kamu menggunakan alat itu untuk ‘membersihkan debu’—tugas-tugas repetitif yang memakan waktu—supaya energimu bisa tercurah penuh pada hal yang paling penting: menjadi ibu, menjadi teman diskusi untuk anak-anak kita.
Orang di luar sana mungkin melihatnya sebagai hal sepele. Tapi aku melihat gambaran yang lebih besar. Aku melihat seorang ibu yang cerdas, yang menolak menyerah pada keterbatasan waktu. Kamu memilah mana yang bisa didelegasikan pada teknologi dan mana yang harus disentuh dengan hati.
Memilih popok mungkin bisa dibantu algoritma rekomendasi, tapi menenangkan anak yang rewel karena mimpi buruk? Itu adalah keahlian yang tidak akan pernah bisa ditulis dalam baris kode manapun. Kamu bukan digantikan, kamu justru diperkuat. Kamu adalah direktur artistik dari kehidupan keluarga kita, dan teknologi hanyalah asistenmu yang patuh.
Kompas Moral di Era Digital

Di tengah semua berita yang memunculkan kekhawatiran baru, bagian paling menarik dari tulisan itu adalah tentang etika. Tentang betapa pentingnya memastikan teknologi ini dibangun di atas pondasi kemanusiaan.
Lagi-lagi, aku teringat percakapan kita di meja makan beberapa malam lalu. Saat kita membahas tontonan anak-anak di internet, dan bagaimana kamu dengan sabar menjelaskan kenapa beberapa video ‘aman’ tapi tidak ‘baik’ untuk mereka.
Kamu adalah kompas moral keluarga ini, penjaga etika penggunaan AI untuk anak di rumah kita.
Di tengah gempuran algoritma yang dirancang untuk membuat kita terus menatap layar, kamu yang menetapkan ‘aturan lalu lintas’ di rumah kita. Kamu yang mengajarkan pada anak-anak bahwa di balik setiap layar ada manusia, ada perasaan, dan ada tanggung jawab.
Dunia teknologi mungkin sibuk merancang AI yang etis, tapi di sini, di rumah kecil kita, kamu sudah mempraktikkannya setiap hari. Kamu memastikan nilai-nilai kita—empati, kebaikan, rasa ingin tahu yang sehat—tidak tergerus oleh kemudahan yang ditawarkan teknologi. Itu adalah sebuah pekerjaan sunyi yang bebannya luar biasa, tapi kamu memikulnya dengan begitu anggun.
Belajar Tanpa Gelar, Beradaptasi dengan Hati

Artikel itu ditutup dengan pesan yang menenangkan: kita tidak perlu menjadi seorang insinyur untuk memahami dasar-dasar AI. Cukup dengan rasa ingin tahu dan kemauan untuk bertanya.
Dan aku jadi mengenang kembali semua hal baru yang telah kamu pelajari demi keluarga ini. Mulai dari mencari tahu resep makanan pendamping yang paling sehat, meneliti sekolah terbaik, hingga mempelajari cara kerja aplikasi belajar online saat pandemi melanda.
Kamu tidak pernah menempuh pendidikan formal untuk itu semua. Modalnya hanya satu: cinta. Keinginanmu untuk memberikan yang terbaik mendorongmu untuk terus belajar dan beradaptasi. Kamu adalah bukti hidup bahwa kecerdasan paling murni bukanlah tentang menghafal data, tapi tentang kemampuan untuk menyesuaikan diri demi kebaikan orang yang kita sayangi.
Melihatmu, aku jadi tidak terlalu khawatir tentang masa depan anak-anak kita. Karena aku tahu, mereka punya guru terbaik di rumah. Seseorang yang akan mengajari mereka bahwa teknologi adalah alat, tapi hati adalah pemandunya.
Mungkin dunia di luar sana sibuk memikirkan bagaimana manusia bisa berkolaborasi dengan mesin. Tapi malam ini, di dalam keheningan ini, aku hanya bersyukur atas kolaborasi terhebat yang pernah aku kenal. Kolaborasi kita.
Sumber inspirasi: Artikel The Economic Times, 14 September 2025.
