
Di keheningan malam setelah anak-anak terlelap. Kita duduk berdampingan di sofa ruang tengah, dan aku melihatmu menghela napas panjang, melepaskan lelah.
Entah sudah berapa banyak pikiran yang berkecamuk di kepalamu seharian ini. Tadi, aku tak sengaja membaca artikel tentang sebuah aplikasi desain yang kini memakai teknologi AI. Katanya, untuk membantu para desainer lepas dari pekerjaan repetitif agar bisa lebih fokus pada hal-hal yang kreatif.
Aku langsung teringat wajahmu yang sering kelelahan karena revisi tanpa henti dan tenggat waktu yang ketat. Di satu sisi aku lega, tapi di sisi lain… ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Inti artikel itu adalah pertanyaan: ‘Bagaimana kita mempertahankan sentuhan manusia di era AI?’ Saat membacanya, aku tahu jawabannya sudah ada pada dirimu. Efisiensi yang ditawarkan AI pada akhirnya hanyalah alat untuk membuat kekuatan sejatimu semakin bersinar.
Di Balik Draf Sempurna Buatan AI

Artikel itu bilang, AI bisa membuat draf desain dan bahkan membantu proses koding dalam sekejap. Aku membayangkan, mungkin ini bisa sedikit mengurangi waktu yang kamu habiskan di depan layar hingga larut malam.
Semua pergulatan batinmu—‘Apakah warna tombol ini lebih baik?’, ‘Apakah alur ini akan membingungkan pengguna?’—yang kamu ulang ratusan kali, kini bisa dibantu oleh AI. Aku sempat berpikir, mungkin kamu bisa pulang lebih awal. Tentu itu hal yang baik, ya?
Tapi aku tahu. Pekerjaanmu yang sesungguhnya dimulai justru setelah draf sempurna itu jadi. Secanggih apa pun prototipe yang dihasilkan AI, itu hanyalah kerangka kosong. Kamulah yang memberinya cerita dan perasaan.
Kamu yang membayangkan di titik mana pengguna akan merasa frustrasi, dan di momen mana mereka akan merasa lega, lalu meniupkan nyawa ke setiap elemen kecil di layar. Itu adalah wilayah yang tidak akan pernah bisa dijangkau hanya dengan analisis data.
Keberanianmu untuk berkata, ‘Desain ini memang canggih, tapi ini bukan kehangatan yang dicari pengguna kami,’ lalu memulai lagi dari awal. Bukankah itu esensi dari pekerjaanmu? Aku percaya, bukan kemudahan dari teknologi yang pada akhirnya menyentuh hati orang, melainkan kegigihanmu dalam memikirkan mereka.
Pertanyaan Terpenting Datang dari Hati, Bukan Kode

Aku ingat satu proyek yang membuatmu terjaga sampai larut malam. Secara teknis semuanya sempurna, tapi kamu terus bergumam ada sesuatu yang penting yang hilang. Kamu tidak bisa tidur nyenyak.
Keesokan paginya, kamu memutuskan untuk bertemu langsung dengan beberapa pengguna. Dan saat pulang, kamu tersenyum begitu cerah sambil berkata, “Aku tahu masalahnya di mana.
Kita terlalu fokus pada ‘apa’ yang harus dibuat, sampai lupa ‘mengapa’ mereka harus menggunakannya.”
AI mungkin bisa menganalisis jutaan data untuk menemukan jawaban paling efisien. Tapi ia tidak akan pernah bisa bertanya ‘mengapa’—pertanyaan yang tersembunyi di balik helaan napas kecil, kerutan dahi, atau senyum lega seorang pengguna.
Itu adalah sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh manusia, terutama oleh orang sepertimu yang berusaha begitu keras untuk berempati pada hati orang lain. Kamu bukan sekadar desainer yang menyusun piksel. Kamu adalah penerjemah yang membaca kebutuhan dan kesulitan orang lain. Kamu adalah pencerita yang memberi narasi hangat pada teknologi yang dingin.
Ini adalah cerminan sejati dari kepekaan orang tua terhadap kebutuhan anak. AI bisa jadi asisten yang hebat, tapi ia tidak akan pernah bisa menggantikan kemampuan empatimu, intuisimu, ‘rasa’ manusiawimu yang begitu halus. Itulah alasan mengapa dirimu tak tergantikan.
Pada Akhirnya, Ini Semua tentang Kehangatanmu

Aku tahu, terkadang kamu lelah dengan pekerjaan dan ingin menyerah. Merasa ketulusanmu terkikis di tengah tuntutan dan kompromi yang tiada henti. Tapi sayang, semua yang kamu kerjakan selalu meninggalkan jejak sentuhan khasmu.
Sentuhan itu mirip seperti caramu menatap mata anak kita saat ia mengajukan pertanyaan aneh, dan mendengarkannya sampai selesai. Mirip seperti caramu menepuk bahuku tanpa kata setelah aku melalui hari yang berat.
Aku tidak tahu bagaimana AI baru ini akan mengubah dunia. Tapi satu hal yang aku yakini: seberapa pun canggihnya teknologi, manusia akan selalu tersentuh oleh karya yang dibuat dengan hati. Ada kehangatan tak kasat mata dalam semua yang kamu ciptakan.
Itu adalah ketulusanmu pada pengguna, hatimu yang hangat yang ingin memberi mereka pengalaman yang lebih baik. Inilah nilai-nilai kemanusiaan dalam parenting yang kita jalani setiap hari. Melihatmu, aku semakin sadar betapa pentingnya sentuhan manusia dalam mendidik anak.
Jadi, jangan pernah lupa. Kamu tidak sedang sekadar bekerja, kamu sedang menambahkan kehangatan ke dunia dengan caramu sendiri. Terima kasih untuk kerja kerasmu hari ini. Aku akan selalu menjadi orang terdekat yang mengagumi hatimu yang luar biasa itu.
Source: Figma Make: the biggest shift in UX/UI since Sketch, Uxdesign.cc, 2025-09-14.
