
Malam ini, setelah anak-anak tidur, aku melihatmu duduk diam di sofa. Punggungmu terlihat sedikit lebih lelah dari biasanya. Aku tahu, hari ini tidak mudah. Mendampingi anak belajar di rumah setiap hari memang punya tantangannya sendiri.
Kadang muncul khawatir anak tidak konsentrasi, atau lebih buruk lagi, mereka merasa bosan. Tapi saat aku memikirkan itu, aku justru teringat sesuatu yang lain. Aku teringat caramu mengubah kebosanan itu menjadi sesuatu yang ajaib.
Dunia mungkin sibuk bicara soal kurikulum dan target, tapi kamu, dengan caramu yang hening, sedang membangun fondasi terpenting untuk anak kita: cinta pada proses belajar itu sendiri. Dan malam ini, aku hanya ingin bilang, aku melihat semuanya.
Ketika Angka Menjadi Buntu, Kamu Datang dengan Kue Cokelat

Tadi siang, aku ingat sekali ekspresi frustrasi di wajah anak kita saat mengerjakan soal matematika. Aku yang melihat dari jauh saja sudah ikut gemas, rasanya ingin bilang, ‘Ayo, coba lagi lebih teliti!’ Tapi kamu berbeda. Kamu datang, bukan dengan paksaan, tapi dengan senyum yang menenangkan. Kamu tutup buku pelajarannya dengan lembut.
Lalu, kamu mengajaknya ke dapur. ‘Gimana kalau kita bikin kue? Kita butuh dua butir telur, ditambah dua lagi jadi berapa?’ katamu sambil mengeluarkan bahan-bahan. Aku melihat mata anak kita yang tadinya suntuk, kini berbinar lagi. Di sana, di antara tepung dan adonan cokelat, ia tidak merasa sedang belajar. Ia sedang bermain, sambil tanpa sadar menyerap konsep penjumlahan. Kamu tidak hanya memberikan solusi anak malas belajar di rumah, kamu mengubah pelajaran yang membosankan menjadi kenangan manis. Kamu menunjukkan bahwa ilmu itu ada di mana-mana, tidak hanya di selembar kertas ujian.
Layar Gawai di Tanganmu Bukan Lagi Ancaman

Kita, seperti banyak orangtua lain, sering khawatir dengan waktu anak di depan layar. Rasanya seperti ada monster kecil yang siap mencuri perhatian mereka. Tapi lagi-lagi, kamu punya cara pandang yang berbeda. Bagimu, gadget itu bukan musuh, tapi pintu ke dunia yang lebih luas, jika digunakan dengan bijak.
Saat anak kita bertanya tentang hewan laut, kamu tidak sekadar menjawab. Kamu duduk di sebelahnya, membuka tablet, dan berkata, ‘Yuk, kita menyelam bersama paus biru!’ Kalian menjelajahi lautan digital bersama, melihat video dokumenter, dan mencari fakta-fakta menarik. Kamu tidak membiarkannya tenggelam sendirian di dunia maya. Kamu mendampinginya, menjadi pemandu wisatanya, mengajukan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu. Cara inilah yang menjaga motivasi anak untuk terus belajar. Di tanganmu, teknologi menjadi alat untuk berpetualang, bukan sekadar hiburan pasif.
Pelajaran Terbaik yang Tak Pernah Tertulis di Buku

Dari semua tips mendampingi anak belajar di rumah yang pernah aku baca, sepertinya tidak ada yang lebih ampuh dari yang kamu praktikkan setiap hari: kesabaran. Ada momen ketika anak kita benar-benar menyerah, melempar pensilnya dan berkata ‘Aku tidak bisa!’. Saat itu, emosiku hampir saja terpancing.
Tapi kamu, kamu hanya menarik napas dalam-dalam, memeluknya, dan berbisik, ‘Tidak apa-apa kalau lelah. Kita istirahat dulu, ya? Nanti kita coba lagi sama-sama.’ Tidak ada amarah, tidak ada kekecewaan. Hanya ada penerimaan dan pengertian. Di momen itu, anak kita tidak hanya belajar untuk tidak menyerah, tapi ia juga belajar tentang empati dan cara mengelola emosi.
Kamu tidak sedang mengajarinya untuk menjadi juara kelas, kamu sedang mengajarinya menjadi manusia yang kuat dan tangguh.
Sayang, terima kasih untuk setiap momen kecil itu. Saat dunia di luar sana terasa begitu menuntut, kamu berhasil menciptakan ruang aman di rumah kita, di mana belajar bukanlah beban, melainkan sebuah perjalanan yang menyenangkan. Kekuatanmu yang hening itu, yang mengubah setiap tantangan menjadi kesempatan, adalah pelajaran terbaik bagi aku dan anak-anak kita. Aku melihatnya, dan aku sangat bersyukur.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Education Ministry flags learning gaps, dropouts as hurdles, Economictimes.indiatimes.com, 2025-09-14.
