Tips Mengasuh Anak di Era Digital: Belajar dari Kehidupan Sehari-hari

Ayah dan anak berinteraksi dengan gadget bersama-sama

Pernah nggak sih, lihat anak-anak asyik banget sama gadget, lalu hati kita langsung deg-degan antara kagum dan khawatir? Serius, kadang sampai geleng-geleng kepala sendiri! Aku sering banget ngerasain ini—dan percayalah, kita nggak sendirian! Di satu sisi, senang melihat mereka bisa mengikuti zaman. Di sisi lain, ada rasa was-was yang kadang bikin kita bertanya-tanya: sudah benarkah cara kita mengasuh di era serba digital ini?

Ketika Teknologi Seharusnya Mempererat, Bukan Menjauhkan

Keluarga berinteraksi dengan teknologi bersama-sama

Kita sering melihat anak-anak menggunakan gawai di luar jam belajar dengan intensitas yang cukup tinggi. Bikin khawatir, nggak sih? Tapi coba kita ingat-ingat lagi. Teknologi seharusnya membantu kita punya lebih banyak waktu untuk pelukan, bukan menggantikan kehangatan pelukan kita sendiri.

Aku belajar dari pengalaman kecil di rumah. Ketika anak sedang asyik dengan aplikasi edukasinya, aku duduk di sampingnya. Bukan untuk mengawasi, tapi untuk menemani. Tanya ini itu tentang apa yang sedang dia lakukan. Lama-lama, gadget yang awalnya jadi ‘musuh’ berubah jadi jembatan untuk obrolan kita.

Mengajarkan Privasi Sejak Dini, Seperti Mengajarkan Berenang

Anak belajar keamanan digital dengan orangtua

Gimana cara mengajarkan anak dan remaja untuk menjaga privasi di dunia maya? Ini pertanyaan yang sering mengusik pikiran. Aku melihatnya seperti mengajarkan berenang. Kita nggak bisa melarang mereka masuk ke air, tapi kita bisa ajarkan cara berenang yang aman.

Mulai dari hal sederhana: jangan bagikan informasi pribadi, hati-hati dengan orang yang belum dikenal, dan selalu cerita ke orangtua jika ada yang membuat tidak nyaman. Perlahan-lahan, mereka belajar bahwa dunia digital punya aturannya sendiri.

Ketika Remaja Lebih Sering Curhat ke AI

Remaja berinteraksi dengan teknologi AI

Nah, bicara soal kepercayaan, fenomena remaja yang lebih sering curhat ke AI daripada ke teman atau orangtua memang bikin kita mikir ulang. Sebagai orangtua, perasaan kita pasti campur aduk. Tapi mungkin ini justru mengingatkan kita untuk lebih membuka diri dan menguatkan koneksi emosional.

Aku belajar untuk tidak langsung menghakimi. Justru dengan memahami bahwa mereka nyaman dengan AI, kita bisa mencari cara untuk tetap terlibat dalam kehidupan mereka. Tanya tentang chatbot yang mereka gunakan, apa yang menarik dari sana, dan perlahan-lahan bangun kepercayaan bahwa kita juga bisa jadi tempat curhat yang nyaman.

Empati: ‘Software’ Paling Penting yang Harus Kita Install

Anak belajar empati melalui interaksi keluarga

Di tenging hiruk-pikuk teknologi, kadang kita lupa bahwa yang terpenting bukanlah mengajarkan coding sejak dini, tapi mengembangkan kreativitas dan empati. Anak adalah peniru ulung, mereka melihat bagaimana kita berinteraksi dengan dunia.

Kita, sebagai orangtua, punya peran penting mengajarkan empati pada anak sehingga mereka tidak tumbuh sebagai manusia yang egois.

Di era digital yang serba cepat, justru kemampuan memahami perasaan orang lain yang akan membuat mereka menjadi manusia yang utuh.

Memberi Ruang untuk Bereksplorasi dan Berbuat Salah

Keluarga menghabiskan waktu berkualitas bersama

Aku belajar memberinya ruang untuk bereksplorasi, membuat kesalahan, dan menemukan solusi sendiri. Dunia digital memang membawa risiko jika tidak diawasi dengan bijak, tapi larangan total justru bisa membuat mereka penasaran.

Seperti kita dulu yang juga belajar dari kesalahan, generasi sekarang pun perlu ruang untuk tumbuh. Tugas kita adalah memastikan tontonan sesuai usia, memberikan pemahaman tentang batasan, dan selalu siap menjadi tempat pulang ketika mereka menghadapi masalah.

Di akhir hari, setelah semua screen time dan notifikasi, yang paling berharga tetap adalah obrolan ringan sebelum tidur, tawa bersama di meja makan, dan pelukan yang menenangkan. Teknologi akan terus berkembang, tapi kehangatan keluarga—pelukan, obrolan, tawa bareng—itu yang bikin mereka tumbuh jadi orang yang kuat dan berempati. Fondasi terkuat, kan?

Source: Workday Rising 2025 Showcases Workday’s Pivot To AI Platform, Forbes, 2025-09-30

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top