
Anda dan saya, para orang tua dari Sabang sampai Merauke, pasti merasakan semangat yang membara kalau bisa ajak anak mencoba hal baru bersama. Tapi kini ada badai di horizon baru: kecerdasan buatan (AI) mulai ubah aturan dasar kesempatan masa depan! Betapapun, Anda dan saya bisa rasakan bagaimana rasa wonder anak membuat kita yakin: “menjadi pribadi holistik itu wajib”, bukan sekadar menghindari perubahan zaman. Mari kita buka peta harapan ini bersama-sama, karena latihan praktis mudah di rumah atau di taman bisa jadi tuan rumah pengganti di tengah arus teknologi!
Kita Semua Masih Punya Rasa Takut, Bukankah Begitu?
Sebagai orang tua yang hidup di era internet, pasti merasa menyesakkan dada saat baca berita pekerja efek AI. Saya masih ingat betul hari itu, saat suapan semangka masih menggema di lidah si kecil, tiba-tiba dia bertanya perlahan tapi menusuk: “Ayah, kalau robot bisa semua ini, lalu papa nanti nganggur?” Dalam diam-diam hujan gerimis yang lengking, saya merangkai jawaban: “Bukan tentang apa yang digantikan Ayah, tapi tentang apa yang tidak bisa digantikan perlahan oleh siapa pun – keteladananmu, kasih sayangmu, dan rasa ingin tahumu yang jernih.“
Masa Depan Tak Perlu Diakhiri dengan Ijazah Saja
Sebelum itu, mari kita lihat kisah nyata yang mengilhami. Di lingkar bicara para ibu yang pernah saya ikuti, banyak teriakan: “Harus lulusan terbaik, bisa internet 3 bahasa, sekolah di AS!” Namun, justru di tengah cuaca yang sedang berupa peralihan zaman ini, saya teringat para mentor hidupkan nilai langsung: seorang tukang las di Surabaya yang rancang balon sensor termal, atau teknisi Jogja yang libatkan siswa merakit drone dari kardus bekas. Mereka semua manusia biasa, tapi keterampilan praktis membuat mereka bercahaya untuk generasi setelahnya.
Dalam gema nasional yang bertanya, “Apa pekerjaan anak kita kelak?”, saya percaya jawabannya bukan dalam ijazah, tapi dalam bagaimana kita libatkan mereka sekarang: mengeksplorasi, mencoba, dan belajar dari ujung sampai ujung dengan tangan sendiri.
Mentoring seperti ini mengubah masa depan menjadi buku yang bisa mereka gantungkan. Percaya dengan apa yang terlihat sederhana, lalu jelaskan dengan “suara ayah-manusia biasa”!
Perlu Bukan Hanya “Tahu”, Tapi “Bisa”
Ada saatnya tradisi bertemu teknologi. Seperti awet katanya: “Ilmu itu sifatnya motorik.” Dan ini bukan film Scifihayo jangan sedih ya! Dalam diskusi digital di bekas ruang kelas saya minggu lalu, seorang pemuda dari Kalimantan, tanpa ijazah perguruan tinggi, malah jadi panutan karena buat sistem piloting untuk drone sampah. “Ayah, kami mau jadi kayak Kak Chelso?” Dialog itu menggema, dan bersama kami zoom pada bagaimana bakat menulis lagu bisa jadi pintu ke AI-led creativity: libatkan mereka mengubah lagu ke animasi edukasi yang interaktif!
Menanam Benih Bakat Lembut Tapi Pasti
Minggu lalu, kami liburan begitu energik ke Candi Borobudur. Di tengah asik bersantai, tiba-tiba Artist Jalanan menginspirasi: “Kamu bisa buat seni digital, sambil familiar dengan drone.” Dan muncul dialog menggelegar di pikiran kanak-kanaknya: “Apa robot bisa bikin warna indah seperti ini?” Ini bagian dari latihan praktis yang membangun akal tanpa membuat hati kehilangan rasa percaya – justru AI menggandakan kita sebagai penuntun!
Laporan Operasi “Sekolah Rasa Sanggar” Hari Ini
Agar tidak berupa angan nan terlalu “gasa”, mari praktikkan bersama:
1. Jadikan permainan outdoor sebagai laboratorium kecil
Saat temannya sedang pergi main badminton, anak Ayah pernah bikin proyek inkuisitif tentang suhu tanah. Dia libatkan termometer tua, lalu plot data ke kertas manual. Tak sebatas ekstra, ini utama! Setup kecil seperti ini mengakar pembelajaran “Apa itu data dan bagaimana membaca polanya dalam alam?”
2. Ciptakan percakapan big-picture di lokasi biasa
Rasanya seperti biasa di warung es keliling, saat virus informasi sulit diberi makna oleh anak kecil, saya ada dalam pola tatap muka sambil jawab: “Dulu orang berhasil dari ijazah. Sekarang, ada program pelatihan yang sama menariknya dengan bermain bendungan kali tadi siang, kamu belajar coding via menggambar hewan ikan digital.”
3. Bangun mentor nan ditemukan di sekeliling
Sean Sat, arkeolog komputer tua yang suka pakai jaket kulit dan kesal kalau dibilang “mas” (padahal sudah 50-an!), sempat bikin hati kami terbuka lebih besar. Dia pernah buat jadwal kuliah teknik pemograman sambil main “Bayangkan kamu perbaiki kapal udara buatan sendiri!”
Menjadi Mentor di Tengah Perubahan Dunia
Dalam laporan terbaru pemuda Indonesia, 68% mengaku “perlu mentor yang bisa liat mereka jelas”, tidak cuma sistem bypass otomatis. Di sini, kita, para orang tua, kan menghadapi tantangan luar biasa: Go AI, go big, gausah ilang akal dan budi luhur. Semacam bagaimana Ayah sendiri, saat jemput si kecil, langsung latih menyusun kalimat logika per mingguKamu di mana “hari ini kamu bisa 1 bagian catatan sistem”?
Kita Bangun Jalan, Bukan Jaket AI
Tidak penting menunggu AI jadi monster atau sahabat. Yang penting, bagaimana kita berlaku seolah Ayah sendiri adalah mentor pertama dan tempat aman buat anak bereksplorasi. Contoh sederhana: dua minggu lalu, saat seorang anak tetangga merasa bingung seraya melihat robot berjalan sendiri, Ayah mengajak: “Bayangkan kamu sebagai mentor robot itu! Kalau kamu sedang sedih, robot bisa baca perasaan kamu? Dan kalau kamu sedang bahagia, apa yang bisa dia bantu?” Ini pusat dari pelatihan emosional teknologi yang sedang kita bangun bersama.
Namun, cerita yang juga mengharu biru: Latihan langsung mentoring dan bimbingan nyata itu rasanya setara dengan minum teh tubruk di atas delapan pulau sendirian. Tidak cumahard skill, tapi sangat jelas lembaga pembentukan karakter!
Mungkin Anda bertanya di sini, “Lalu apa impian sebagai ayah?” Kalau tanya Ayah ini: impian itu seperti mencatatkan arah angin dalam cuaca hujan deras. Agar anak “bukan hanya tahu AI, tapi bisa bekerja dengan AI” untuk menolong sesama.
Anda Adalah Mentor Pintu Harapan
Sumber: “Seiring Berkurangnya Rekrutmen Lulusan Baru oleh AI, Magang akan Menjadi Penting”, Forbes, 12 September 2025
Jadi, Ayah dan Bunda, mari kita jadi mentor setia yang siap menemani setiap langkah kecil mereka.