Antara Notifikasi dan Nasi Hangat: Belajar Fleksibel dari Ibu di Era Digital

Ibu menyuapi anak sambil mematikan notifikasi ponsel

Pernah memperhatikan bagaimana ibu dengan lihai mematikan notifikasi ponsel saat menyuapi anak makan siang? Atau cara beliau menyelipkan percakapan tentang bahaya cyberbullying sembari memilih wortel di pasar? Di tengah derasnya perubahan teknologi, ada pelajaran berharga dari ritual rumah tangga yang sering luput kita sadari. Sebagai suami yang memperhatikan, saya ingin berbagi cerita tentang adaptasi alami yang mungkin pernah kita alami bersama.

Mau Kuota Game atau Kuota Cari Tau?

Anak berkebun di pot kecil bersama ibu

Jujur, kamu juga pernah kan… anak langsung merajuk saat diminta berhenti main game online? Sama. Tapi coba perhatikan trik sederhana ibu: “Ayo, gadgetnya istirahat dulu. Ibu butuh bantuan muatan tanah ke pot!” Tiba-tiba scroll-nya berhenti, tangannya malah asyik ambil sekop kecil—begitu ibu ajak, langsung lompat ke halaman!

Pelajarannya? Kuncinya bukan pelarangan mutlak, tapi penawaran alternatif yang menyenangkan. Seperti weekend tanpa gadget keluarga dengan masak bareng atau main monopoli. Rasanya klise, tapi percayalah – tawa ketika dadu terjatuh ke bawah meja jauh lebih mengena daripada emoji laugh di chat group.

Password di Kulkas dan Seni Privasi Digital

Ibu dan anak menulis petunjuk password di buku kecil

Masih ingat pertama kali istri mengajarkan anak menggunakan fitur privasi di media sosial? Dialognya sederhana: “Kalau foto ini diunggah, siapa saja yang boleh lihat?” Mirip ketika beliau mengajari memilih sayur segar di pasar – perlu selektivitas. Ada keahlian khusus dalam cara ibu memperkenalkan dunia digital pada anak: tidak menakut-nakuti, tapi membekali dengan kesadaran.

Filosofi yang sama terlihat dari kebiasaan unik menyimpan password. Daripada aplikasi khusus, keluarga kami punya ‘ensiklopedia’ kecil berisi petunjuk password yang hanya kami pahami.

Nah, soal kolom password ini, ibu punya jurus lain di grup WA… Contoh? “Makanan favorit kucing tetangga + tahun kita nikah”. Cara analog yang justru membuat anak paham pentingnya keamanan tanpa merasa diawasi.

Grup WA Emak-Emak: Universitas Kehidupan Digital

Pernah memergoki istri berkonsultasi di grup WhatsApp soal error aplikasi sekolah? Itulah kekuatan komunitas lokal yang sering diabaikan. Saat sistem pembayaran online error, ibu-ibu saling berbagi solusi darurat dengan kreativitas mengagumkan – mulai dari mengatur jadwal antre bayar tunai hingga membuat sistem arsip manual.

Momen ini mengajarkan kita tentang esensi teknologi: alat, bukan penguasa. Seperti ketika sekolah daring tiba-tiba berganti platform, istri dengan tenang membuka YouTube tutorial sambil sesekali menengok panci sup. Adaptabilitas inilah yang perlu kita tularkan pada anak – kemampuan tetap tenang saat teknologi tak sesuai harapan.

Mencicipi Teknologi Layaknya Mencicip Sayur Sop

Keluarga berdiskusi di meja makan sambil menikmati sayur sop

Ada ritual unik di keluarga kami setiap kali memperkenalkan aplikasi baru: diskusi singkat di meja makan. “Menurut kalian, fitur ini bermanfaat atau justru merepotkan?” tanya istri suatu malam sambil menyendokkan sayur. Pendekatan partisipatif ini membuat anak belajar menilai teknologi secara kritis, bukan sekadar mengikuti tren.

Sama seperti ketika beliau mengatur kuota internet keluarga: “Kuota untuk belajar lebih besar dari kuota main game.” Analoginya sederhana tapi efektif – seperti membagi porsi lauk dan sayur di piring. Tidak ada larangan mutlak, tapi bisa enak-enak, asal tahu batasnya, gitu aja kok.

Source: The State of Digital Marketing in 2025: An Expert Report on Global Trends, Applabx Blog, 2025-09-13

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top