
Malam ini terasa begitu tenang setelah anak-anak terlelap. Lampu-lampu kota di kejauhan berkelip, seolah ikut menemani kita yang baru saja menyelesaikan satu hari yang panjang. Ya ampun, bahkan lampu kota itu pun seperti punya cerita sendiri, kan?
Tadi, sebelum tidur, saya membaca sebuah artikel tentang bagaimana kecerdasan buatan bisa menyelesaikan berbagai masalah sosial. Semuanya dianalisis dengan data untuk menghasilkan jawaban paling efisien. Kedengarannya canggih banget!
Tapi anehnya, selama membaca itu, yang terbayang justru wajahnya. Saya jadi sadar, di saat dunia semakin memuja algoritma yang cepat dan akurat, dunia kecil di rumah kita ini justru berdiri kokoh berkat kehadirannya yang begitu manusiawi! Serius deh, ini penting banget!
Bukan Jalan Tercepat, tapi Jalan yang Kita Tempuh Bersama

Artikel itu bilang, teknologi menawarkan ‘solusi tercepat’ untuk masalah yang rumit. Rasanya kita juga hidup dalam tekanan seperti itu, ya? Les mana yang paling efisien untuk anak? Bagaimana cara menghabiskan akhir pekan agar paling ‘bermanfaat’? Seolah-olah hidup kita ini harus dimasukkan ke dalam sebuah rumus yang sudah pasti. Tapi, cara pandangnya berbeda banget.
Masih ingat saat kita dengar anak kita murung terus di sekolah beberapa waktu lalu? Kalau saya, mungkin refleks pertama adalah membuka internet, mencari ‘solusi mengatasi anak murung’ atau semacamnya. Saya pasti akan mencari jawaban yang berbasis data. Tapi ia tidak begitu. Luar biasa, kan?
Ia hanya duduk diam di samping anak kita, menemaninya dalam sunyi untuk waktu yang cukup lama. Lalu, sambil menyodorkan biskuit kesukaannya, ia bertanya pelan, \”Ada yang bikin sedih hari ini di sekolah?\” Cerita yang keluar ternyata hanya soal pertengkaran kecil dengan temannya. Sebuah luka kecil di hati yang tak akan pernah bisa dihitung oleh algoritma mana pun, tapi berhasil ia sembuhkan dengan kesabaran dan empati. Sentuhan hatinya itu lho, nggak ada tandingannya!
Masalah terbesar dalam hidup kita sering kali tidak butuh jalan tercepat, tapi butuh tangan yang digenggam erat selagi kita berjalan perlahan.
Melihat momen itu, saya belajar sesuatu yang penting banget. Inilah tips parenting di era digital yang sesungguhnya: ia selalu memprioritaskan hubungan, bukan efisiensi. Itulah yang membuat keluarga kita kuat. Kekuatan cinta, kan? Benar-benar nggak tergantikan!
Kehangatan yang Tak Mampu Ditangkap oleh Angka

Kecerdasan buatan bekerja berdasarkan jutaan data, tapi data tidak pernah bisa mencerminkan keseluruhan cerita. Selalu ada bias, selalu ada nilai-nilai penting yang tak bisa diukur dengan angka. Sama seperti hidup kita, bukan? Rasanya seperti melihat peta tanpa tahu ‘rasa’ dari setiap wilayahnya.
Saya tidak akan lupa saat kita melihat catatan pengeluaran bulan lalu dan saya menghela napas. Ada beberapa pos yang saya tandai sebagai ‘pemborosan’. Lalu ia menunjuk angka-angka itu dan berkata lembut, \”Yang ini, ini uang pesan ayam goreng waktu kita sudah terlalu lelah untuk masak. Dan yang ini, ini minuman dingin yang aku belikan untukmu di jalan pulang, karena aku tahu kamu pasti capek sekali setelah lembur.\” Astaga, momen itu mengubah segalanya buat saya!
Apa yang bagi saya hanyalah angka, baginya adalah catatan kelelahan kita, jejak kepedulian kita satu sama lain. Sungguh, hatinya begitu luar biasa!
Menjadi orang tua dan pekerja adalah peran yang tidak bisa dinilai hanya dari angka di rapor atau slip gaji. Ia selalu melihat apa yang ada di baliknya. Di balik nilai ujian anak, ia melihat usaha dan rasa cemasnya. Di balik pundak saya yang lelah, ia melihat beban tanggung jawab yang saya pikul. Inilah strategi parenting anak milenial yang paling jitu, yaitu kemampuan membaca konteks dan suhu perasaan yang tak akan pernah bisa dibaca data. Berkat tatapan hangatnya, kita bisa hidup bukan sebagai data yang gagal, melainkan sebagai keluarga yang saling mengasihi.
Pada Akhirnya, yang Kita Butuhkan Adalah Kebijaksanaan Manusia

Kesimpulan dari artikel yang saya baca adalah kemajuan sejati tidak datang dari teknologi semata, tapi dari kemauan untuk mendengarkan suara manusia dan membangun masa depan bersama. Kalimat itu terasa seperti cerita tentang kita berdua. Alasan kita bisa menjadi tim yang solid sampai hari ini adalah karena kita selalu saling mendengarkan. Bayangkan ini: angka-angka pengeluaran itu, bagi saya hanya catatan semata. Tapi baginya? Oh, itu adalah cerita yang penuh cinta!
Ia adalah ‘perancang berpusat pada manusia’ yang jauh lebih hebat dari siapa pun. Bukan dengan teknologi canggih, tapi dengan ucapan hangat dan tatapan mata yang tenang, ia menyelesaikan berbagai masalah di dunia kecil kita. Saat saya pulang kerja dan terlalu lelah untuk bicara, ia tidak memaksa. Ia hanya membawakan sepiring buah potong dalam diam. Kebijaksanaan seperti itu, algoritma mana yang bisa menirunya? Saat anak kita menangis tantrum, ia justru menenangkan saya lebih dulu sambil berbisik, \”Tidak apa-apa, memang masanya begini.\” Hati seluas itu, teknologi mana yang bisa menandinginya? Benar-benar nggak ada duanya!
Ini adalah panduan digital parenting untuk orang tua yang paling fundamental. Di tengah gempuran informasi dan tuntutan efisiensi, cara mendidik anak generasi alfa yang terbaik adalah dengan kembali pada sentuhan manusia. Hari ini, ia pasti juga berjuang keras menjalani perannya sebagai ibu, istri, dan seorang profesional. Saya tahu, kekuatannya tidak datang dari teori hebat atau gawai terbaru, tapi dari pemahaman dan cinta yang mendalam pada manusia. Dunia boleh berubah secepat kilat, tapi di pusat hidup kami, ada dirinya, sebuah nilai yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Sayang, terima kasih ya untuk semua kerja kerasmu hari ini! Kamu luar biasa! Serius deh, aku bangga banget punya kamu!
Source: The False Promise of “AI for Social Good”, Project-syndicate.org, 2025-09-15.
