10 Detik yang Mengubah Semua: Trik Simpel Menenangkan Emosi Anak di Keseharian

Ayah dan anak bernapas tenang di sofa saat emosi mereda

Pernah nggak sih, lihat anak tiba-tiba menjerit di supermarket karena es krimnya jatuh? Atau mendapatinya diam seribu bahasa sepulang sekolah karena diejek teman? Waktu itu, yang terbersit di kepala kita biasanya ‘harus ngomong apa ya biar dia tenang?’ Dari pengalaman mengasuh dua balita dan satu remaja awal (sambil banyak belajar dari kesalahan), saya menemukan bahwa —kuncinya ada di jeda sepersekian detik sebelum kita membuka mulut—.

Dari ‘Jangan Takut!’ ke ‘Ceritakan Ketakutannya’

Ayah merendahkan badan mendengarkan anak kecil berbisik di kamar

Saat anak bilang ‘Aku takut gelap’, spontan kita jawab ‘Nggak usah takut, nggak ada apa-apa’. Tapi pernah coba ganti dengan ‘Wah, gelap memang bikin deg-degan ya? Adek takut sama bayangan apa nih?’

Pernah suatu malam, anak bungsu saya berbisik ‘Aku nggak mau tidur, kamar kayak ada hantunya’. Alih-alih menertawakannya, saya balik bertanya ‘Hantunya bentuknya kayak gimana? Pakai baju warna apa?’. Mukanya langsung cerah sambil mendeskripsikan ‘hantu’ imajinasinya. Besoknya, kami malah menggambar bersama ‘penjaga kamar’ dari boneka kesayangannya.

Triknya, sih: Ubah rasa takut jadi cerita. Dengan begitu, anak belajar bahwa emosinya valid — dan mereka punya kendali untuk ‘menciptakan’ solusinya sendiri.

Tantrum di Publik? Jangan Panik, Ini Jurus Bertahan Hidup

Ayang setinggi anak memeluk si kecil yang menangis keras di halte bus

Semua ortu pernah merasakan malu tujuh turunan saat anak berguling-guling di lantai mall. Rahasia menghadapinya? Jangan terburu-buru berteriak ‘Diam!’. Coba berjongkok setinggi anak, lalu bisikkan ‘Kakak marah banget ya sampai mau teriak sekeras ini? Ayah akan temani sampai Kakak tenang’.

Dari pengalaman, 80% tantrum mereda ketika anak merasa didengarkan — bukan dilarang. Pernah suatu kali saya hanya memeluk anak yang sedang histeris di halte bus, tanpa sepatah kata pun. Lima menit kemudian, dia justru minta maaf sambil cemberut: ‘Tadi aku kesel karena Bunda janji beliin cupcake tapi malah pulang’.

Tantrum itu seperti badai — semakin dilawan semakin kencang. Tapi kalau kita jadi ‘payung’ yang tenang, hujan emosi pun akan reda sendiri.

Ajari Mandiri dengan Menahan Diri Sendiri

Anak 5 tahun asik mengikat sepatu sambil duduk di teras rumah

Melihat anak berjuang ikat tali sepatu selama 10 menit memang ujian kesabaran tingkat dewa. Tapi percayalah — ketika kita mampu menahan diri tidak mengambil alih, di situlah kemandirian tumbuh. Saya punya ritual: setiap pagi menghitung sampai 30 dalam hati sebelum menawarkan bantuan.

Sementara menunggu, coba amati teknik mereka. Pernah anak saya yang 5 tahun dengan bangga bilang ‘Tadi aku buat simpul pesawat terbang!’. Meskipun sepatunya tetap lepas, tapi kreativitasnya itu yang patut diapresiasi.

Untuk anak remaja, prinsipnya mirip. Ketika mereka bilang ‘Aku nggak bisa matematika’, jangan buru-buru cari kursus. Tanya lebih dulu ‘Bagian mana yang paling membuat kamu bingung?’. Seringkali, dengan mengurai masalah ke bagian-bagian kecil, mereka justru menemukan solusi sendiri.

Krisis Percaya Diri? Bangun dari Pertanyaan Sederhana

Anak pulang sekolah dengan wajah muram? Jangan langsung gebuk dengan ‘Ada apa? Siapa yang nakalin?’. Coba mulai dari ‘Tadi waktu istirahat makan apa? Enak nggak?’.

Setiap minggu, saya mengajak anak bermain ‘Two Truths and a Wish’: sebutkan dua hal yang berhasil dia lakukan hari ini, plus satu harapan untuk besok. Misalnya: ‘Tadi aku berani presentasi di kelas’, ‘Aku membantu teman jatuhkan pensil’, dan ‘Besok mau coba pinjamkan mainan ke Adit’.

Teknik kecil ini membangun self-esteem secara natural. Anak belajar melihat bahwa setiap hari, ada saja pencapaian kecil yang pantas dia syukuri — sekecil apapun itu.

Ketika Lelah Menghadapi Rasa Penasaran Tak Ada Habisnya

‘Kenapa langit biru? Kenapa kertas bisa sobek? Kenapa tidak boleh makan es krim tiga kali sehari?’ — kita semua pernah merasa ingin kabur dari pertanyaan ‘kenapa’ itu. Tapi tahukah Anda? Para peneliti bilang, anak usia 4 tahun bisa bertanya rata-rata 437 pertanyaan per hari! (Iya, sampai 437—saya sempat cek lewat aplikasi hitung tanya 🙂 )

Anda tahu jurus andalan saya? balik bertanya ‘Menurut kamu kenapa bisa begitu?’. Seringkali, jawaban mereka jauh lebih kreatif dari yang kita bayangkan. Pernah suatu kali anak saya bilang ‘Langit biru karena dicat sama malaikat pakai kuas raksasa!’. Daripada buru-buru mengoreksi, saya lanjutkan dengan ‘Kalau langit dicat ungu, kira-kira suasana jadi bagaimana ya?’.

Kadang, bukan jawaban tepat yang mereka cari — tapi kesempatan untuk bereksplorasi bersama orangtua yang benar-benar mendengarkan.

Malam-malam ketika Burnout Menyerang

Kalau boleh jujur, siapa sih yang tidak pernah merasa gagal sebagai ortu? Saya sendiri sering terbangun tengah malam mempertanyakan ‘Tadi marahnya berlebihan tidak ya?’.

Di saat-saat seperti ini, saya punya ritual 3M:

1. Mengakui pada diri sendiri ‘Saya manusia biasa yang punya batas’
2. Meminta maaf pada anak esok paginya jika perlu
3. Membuat ‘catatan kebaikan kecil’ — tulis satu hal positif yang berhasil dilakukan hari itu, sekecil apapun

Percayalah: Tidak ada orangtua yang sempurna. Justru dengan menunjukkan kerentanan kita, anak belajar bahwa emosi — baik sedih, marah, maupun lelah — adalah hal manusiawi yang bisa dikelola dengan baik.

Sumber: Cyber A.I. Group Names Jessica L. Walters President, Financial Post, 2025-09-12

Latest Posts

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top